asiahebat

  • 2024-10-08 05:47:10 Source:asiahebat

    Browse(489)

asiahebat,erek jerapah,asiahebat

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi kelas menengah di Indonesia tergerus. Hal ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.

Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas kedua kelompok itu.

Hal tersebut akhirnya membentuk kondisi baru, yakni "yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin". Hal ini tergambar dalam pertumbuhan tabungan di perbankan.

Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan pertumbuhan tabungan masyarakat atau individu kelas menengah bawah lesu, sedangkan yang nasabah segmen kelas atas tumbuh signifikan.

Sejumlah bank pun mengakui fenomena turunnya kelas menengah bawah dan daya beli memang terjadi. Bank Tabungan Negara (BTN) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dana ritel kelas atas yang mengalami kenaikan.

"Trendnya [pertumbuhan simpanan di BTN] sama ya, dengan bank lain. Yang Rp5 miliar keatas tumbuh, yang Rp100 juta turun," ujar Direktur Distribution and Institutional Funding BTN Jasmin mengakui saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (9/9/2024).

Pilihan Redaksi
  • Bukti Kelas Menengah RI Makin Susah, Terlihat dari Transaksi QRIS
  • Begini Ngerinya Jika Kelas Menengah Dibiarkan 'Jatuh Miskin'
  • Kelas Menengah RI Lebih Suka Beli Barang Murah, Ini Buktinya!

Menurutnya, daya beli masyarakat turun, karena tabungan habis dipakai konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Seperti membayae kewajiban cicilan-cicilan rumah, kendaraan, kebutuhan sekolah. Hal itu kemudian membuat kemampuan menabung semakin menurun.

Meskipun kondisi likuiditas perbankan masih terjaga karena dana masyarakat kelas menengah atas masih bertumbuh, Jasmin mengatakan kalau tren kelas menengah bawah makan tabungan berlanjut, kualitas kredit bakal memburuk.

"Tentu kalau kelas ini turun terus kemampuan menabung, akan berpengaruh terhadap kualitas kredit bagi yang mempunyai utang, karena kemampuan terbatas. Sehingga sangat sensitif," jelasnya.

Bank Central Asia (BCA) juga tak menampik adanya dampak dari menurunnya daya beli tersebut. Meskipun Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengakui bahwa tren tabungan kelas menengah atas naik dan tabungan kelas menengah bawah turun juga terjadi di bank swasta terbesar RI itu.

"So far kredit retail yang lebih berat," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (6/9/2024) lalu.

Itu senada dengan yang dialami Bank Negara Indonesia (BNI). Direktur utama bank pelat merah tersebut, Royke Tumilaar mengakui pertumbuhan simpanan di bank itu terjaga dari dampak penurunan daya beli masyarakat, karena ditopang tabungan nasabah kelas menengah atas yang meningkat.

"Tapi di kredit SME (UKM) yang sangat berpengaruh naiknya NPL (non performing loan)," kata Royke saat dihubungin Selasa (10/9/2024).

Menurut pengamat perbankan Paul Sutaryono, berlanjurnya fenomena masyarakat kelas menengah akan "makan tabungan" pastinya bakal membuat simpanan di bank menipis.

"Padahal kemungkinan besar dana itu merupakan sumber dana murah karena bersumber dari tabungan. Meskipun harus diakui dana itu juga dari deposito yang disebut sebagai sumber dana yang lebih mahal," jelas Paul saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (9/9/2024).

Sementara Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin melihat jika fenomena daya beli menurun terus berlanjut, justru akan menekan pertumbuhan kredit dalam jangka menengah. Terlebih, saat ini masyarakat juga tengah menahan ekspansi menjelang pemilihan kepada daerah serentak di Indonesia bulan November nanti, serta menunggu transisi pemerintahan baru.

"Itu kan pasti juga nggak ada perputaran, nggak ada transaksi sedikit, akhirnya kan orang nggak ekspansi, orang nggak investasi, ya otomatis kredit kan turun," kata Amin saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (9/9/2024).

Adapun berdasarkan Survei Orientasi Bisnis Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (Sbpo), indeks persepsi risiko (IPR) bank masih dalam zona positif, meskipun turun tipis dibandingkan kuartal sebelumnya. 

IPR per kuartal III-2024 sebesar 57 dan IPR kuartal sebelumnya 59. Penurunan ini disebabkan oleh komponen margin bunga bersih (NIM) yang turun dari 59 menjadi 54 dan juga cashflow yang turun dari 68 menjadi 63. 

Sementara itu, indeks persepsi risiko terkait kredit bermasalah atau NPL naik dari 53 menjadi 55. Artinya responden memperkirakan bahwa risiko kredit pada triwulan III-2024 akan membaik, dari 2,26% pada posisi Juni 2024.

Sebagai informasi semakin besar angka di dalam indeks, artinya responden melihat kondisi akan menjadi lebih baik. Indeks komposit ini menunjukkan persepsi responden dengan rentang nilai 1 sampai dengan 100, di mana indeks lebih dari 50 menunjukkan persepsi optimis, indeks sama dengan 50 menunjukkan persepsi stabil, dan indeks kurang dari 50 menunjukkan persepsi pesimis. 


(mkh/mkh) Saksikan video di bawah ini:

Video: Perkuat Bisnis Konsumer, Bank "Incar" Nasabah Gen Z & Milenial

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">Next Article OJK Kasih Tips Biar Tidak Berurusan dengan Debt Collector

Previous article:buku mimpi 14

Next article:angka keramat singapura